Minggu, 20 Mei 2012
Toraya Tempo Doeloe
Gambar tersebut adalah salah satu dari sekian banyak koleksi foto "Claire Holt" ( Claire Holt lahir di Riga, Latvia pada tahun 1901. Dia menjabat sebagai reporter untuk New York World, penerbitan tinjauan tari. Dia melakukan perjalanan ke Indonesia pada 1930 dimana ia belajar tari, bekerja sama dengan antropolog Willem Stutterheim, dan kemudian membantu arsip tari Swedia dan pelindung Rolf de Mare dengan foto dan dokumentasi film tari Indonesia. Dia kembali ke Amerika Serikat dan menjabat sebagai asisten penelitian untuk Margaret Mead, sebagai analis penelitian untuk Office of Strategic Services, dan sebagai spesialis urusan luar negeri untuk Departemen Luar Negeri. Dia datang ke Cornell University, di mana pada tahun 1962, ia membantu menemukan Indonesia Modern Project )( http://digitalgallery.nypl.org/nypldigital/dgkeysearchresult.cfm?parent_id=292950&word= ). Selain itu, dalam koleksi foto tersebut, ada beberapa foto yang diambil oleh "Rolf de Maré" ( http://en.wikipedia.org/wiki/Rolf_de_Mar%C3%A9 )
Kamis, 20 Oktober 2011
Rabu, 19 Oktober 2011
Link Download Panduan Praya Wilayah Rantepao-Tikala-Sesean
Untuk mendapatkan info yang lumayan lengkap, silahkan buka link:
dan
http://www.4shared.com/file/XB7HMl3S/Panduan_Praya_Wilayah__ISI_.html
dan
http://www.4shared.com/file/XB7HMl3S/Panduan_Praya_Wilayah__ISI_.html
Rabu, 16 Maret 2011
SEKILAS TENTANG TORAJA
Toraja dikenal sebagai ” tanah para raja ” atau orang di bagian selatan Toraja menyebut ” orang dari dataran tinggi di utara”. Saat ini Toraja adalah sebuah wilayah dalam cakupan Provinsi Sulawesi Selatan. Letaknya kurang lebih 328 km dari ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar, di daerah pegunungan bagian tengah . Dengan ketinggian 300 s.d 2880 meter di atas permukaan laut Tana Toraja memadukan kesegaran dan kesejukan. Suhu udara yang berkisar 16 s.d 28 derajat Celcius memberikan kesempatan untuk beristirahat dan memulihkan kesehatan.
Sawah-sawah terasering yang hijau, tumbuh-tumbuhan dan rumpun-rumpun bambu dilatarbelakangi oleh pegunungan biru. Rumah-rumah tradisional, tongkonan, berdiri megah di sela-sela pemandangan nan indah ini. Rumah-rumah yang berdekorasi unik ini dengan atapnya yang khas adalah pusat dari semua ritus-ritus “aluk todolo” sejak nenek moyang orang Toraja; mulai dari menyimpan dari hasil panen di dalam lumbung, “alang”, sampai dengan penyembelihan hewan kerbau yang dianggap suci dalam sebuah upacara kematian. Keindahan Toraja juga tercermin pada penduduknya. Walaupun mereka sudah menganut agama Kristen atau pun muslim, masih ada yang menggabungkan kepercayaan agama-agama itu dengan kepercayaan peninggalan nenek moyangnya yang kadangkala berbau mistis. Dengan identitas etnis yang dimiliki, orang Toraja dengan senang hati menyambut siapa saja yang ingin menyaksikan kebudayaan mereka.
Toraja adalah sebuah wilayah di mana penduduknya menanam padi, kakao, cengkeh dan yang terutama kopi. Kopi Arabika dari Toraja sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu yang terbaik di dunia. Ketika musim kemarau tiba, sekitar bulan Juni sampai dengan September, ketika anak-anak memasuki masa liburan, atau ketika panen telah selesai, maka dimulailah kegiatan upacara “rambu solo’ “, sebuah ritual upacara kematian warisan leluhur. Selama masa tersebut, rantepao berubah menjadi sebuah tempat persinggahan wisatawan yang utama, baik nusantara maupun manca negara.
Walaupun Makale dan Rantepao saat ini termasuk daerah-daerah padat penduduk, tetapi wilayah-wilayah lainnya masih terhitung memiliki populasi yang sedikit. Wilayah-wilayah yang terpencil sebagian besar mengalami kekurangan tenaga-tenaga produktif. Mereka telah merantau ke daerah-daerah lain bahkan ke luar negeri untuk belajar atau mencari nafkah. Pendapatan yang mereka peroleh dari perantauan ditambah dengan hasil-hasil pertanian di Toraja sendiri menjadikan daerah ini sebagai wilayah yang cukup sejahtera. kekayaan yang dimiliki ada yang digunakan untuk membiayai pelaksananaan upacara-upacara adat, antara lain upacara kematian, di mana banyak kerbau dan babi yang dikorbankan dan banyak orang yang diberi makanan.
Toraja memiliki budaya yang unik dalam lingkungan alam nan indah. Globalisasi dan pariwisata mungkin berdampak nagi kehidupan, tetapi jika kita masuk ke wilayah-wilayah yang agak terpencil , maka kehidupan yang masih tradisional, yang belum banyak berubah sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu.
Gambaran Geografis dan Administratif Daerah Tana Toraja
Daerah Tana Toraja terletak di wilayah pegunungan tengah provinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini memiliki luas 3.207,77 km2 atau sekitar 5 % dari luas keseluruhan Sulawesi Selatan. Batas-batas wilayahnya, antara lain :
Gambaran Geografis dan Administratif Daerah Tana Toraja
Daerah Tana Toraja terletak di wilayah pegunungan tengah provinsi Sulawesi Selatan. Daerah ini memiliki luas 3.207,77 km2 atau sekitar 5 % dari luas keseluruhan Sulawesi Selatan. Batas-batas wilayahnya, antara lain :
- Sebelah Utara Mamuju dan Luwu utara
- Sebelah Timur Luwu
- Sebelah Selatan Enrekang dan Pinrang
- Sebelah Barat Polewali Mandar dan Mamasa
Di Toraja juga terkenal dengan budayanya yang unik yaitu setiap orang dewasa yang meninggal akan dikuburkan di didalam gua,atau dibuatkan tempat seperti rumah (orang biasanya menyebutnya dengan rumah petani)..Kalau anak bayi yang sudah meninggal biasanya dikuburkan di dalam pohon,alasannya karena mereka itu belum punya dosa dan masih suci.
TORAJA; SALAH SATU TUJUAN WISATA ANDALAN SULAWESI SELATAN
Saking begitu melekatnya image Tana Toraja dengan bangunan rumah adatnya ini, sebagai bentuk promosi pariwisata dan untuk menggaet turis Jepang ke daerah ini, maka rumah adat pun dibangun di negeri “matahari terbit” itu. Bangunannya dikerjakan oleh orang Toraja sendiri dan diboyong pengusaha pariwisata ke negari sakura. Sekarang di Jepang, sudah ada dua Tongkonan yang sangat mirip dengan Tongkonan yang asli. Kehadiran Tongkonan selalu membuat kagum masyarakat negeri tersebut karena bentuknya yang unik. Perbedaannya dengan yang ada di Tanah Toraja hanya terletak di atapnya yang menggunakan bambu.
Masih banyak lagi daya tarik dari Tanah Toraja selain upacara adat rambu solo (pemakaman) yang sudah kesohor selama ini. Sebutlah kuburan bayi di atas pohon tarra di Kampung Kambira, Kecamatan Sangalla, sekitar 20 kilometer dari Rantepao, yang disiapkan bagi jenazah bayi berusia 0 - 7 tahun.
Meski mengubur bayi di atas pohon tarra itu sudah tidak dilaksanakan lagi sejak puluhan tahun terakhir, tetapi pohon tempat “mengubur” mayat bayi itu masih tetap tegak dan banyak dikunjungi wisatawan. Di atas pohon tarra yang buahnya mirip buah sukun yang biasa dijadikan sayur oleh penduduk setempat itu dengan lingkaran batang pohon sekitar 3,5 meter, tersimpan puluhan jenazah bayi.
Sebelum jenazah dimasukkan ke batang pohon, terlebih dahulu pohon itu dilubangi kemudian mayat bayi diletakkan ke dalam kemudian ditutupi dengan serat pohon kelapa berwarna hitam. Setelah puluhan tahun, jenazah bayi itu akan menyatu dengan pohon tersebut. Ini suatu daya tarik bagi para pelancong dan untuk masyarakat Tanah Toraja tetap menganggap tempat tersebut suci seperti anak yang baru lahir.
Penempatan jenazah bayi di pohon ini juga disesuaikan dengan strata sosial masyarakat. Makin tinggi derajat sosial keluarga itu maka makin tinggi pula tempat bayi yang dikuburkan di batang pohon Tarra tersebut. Bahkan, bayi yang meninggal dunia diletakkan sesuai arah tempat tinggal keluarga yang berduka. Kalau rumahnya ada di bagian barat pohon, maka jenazah anak akan diletakkan di sebelah barat.
Kuburan Batu, salah satu bentuk kuburan Orang Toraja
Untuk menuju Tana Toraja yang mengagumkan ini terdapat jalur penerbangan domestik Makassar - Tanah Toraja yang saat ini hanya sekali seminggu dan memakai pesawat kecil berpenumpang delapan orang, yang memakan waktu 45 menit dari Bandara Hasanuddin Makassar. Jika lewat darat, perjalanan yang cukup melelahkan ini membutuhkan waktu selama tujuh hingga sepuluh jam. Event menarik di kawasan wisata ini yaitu adanya upacara pemakaman jenazah (rambu solo) dan rambu tuka (pesta syukuran) yang merupakan kalender tetap tiap tahun. Selain event tersebut, para pengunjung bisa melihat dari dekat obyek wisata budaya menarik lainnya seperti penyimpanan jenazah di penampungan mayat berbentuk “kontainer” ukuran raksasa dengan lebar 3 meter dan tinggi 10 meter serta tongkonan yang sudah berusia 600 tahun di Londa, Rantepao.
Pesta Rambu Solo’ atau pesta/ritual acara penguburan
Ini adalah sebagian kecil dari sekian banyak pesona wisata yang ditawarkan oleh tana toraja sebagai daerah tujuan wisata andalan sulawesi selatan. Bagaimana? Tertarik melihat keunikan wisata budaya ini?
Makna Tedong (KERBAU) bagi Orang Toraja
Bagi orang Toraja kerbau adalah binatang yang paling tinggi stratanya . Harganya pun cukup mahal. Paling murah Rp 5 juta itupun harga Tedong Sangka, sedangkan paling mahal bisa mencapai Rp 150 juta untuk jenis Tedong Bonga( kerbau berbunga-bunga warnanya).
Kini harga tak ada artinya. Sekali bantai oleh parang , langsung binasa. Meski ada beberapa kerbau yang mencoba memberi perlawanan dengan lari meninggalkan arena, tapi tetap saja tertangkap oleh empunya. Sebelum ditebas, kerbau diikat pakai tali kemudian ditancapkan di dalam tanah. Sayangnya tak semua kerbau mati dalam keadaan terikat, ada juga pembatai yang nekad tali kerbau dengan tangan sedangkan tangan lain menebas la bok duatakan atau parang dari besi.
Matias (34) pembantai yang berpengalaman selama 13 tahun, mencoba menebas kerbau dengan sekali bacokan. Namun gagal, akibatnya kerbau berlarian nyaris menumbruk kumpulan orang yang menonton pembantaian massal kerbau. Setelah kehabisan nafas dan darah yang bercucuran, kerbau pun berakhir dengan tragis, mati sembari menanduk satu pondok tamu. Beruntung tak semua kerbau dibantai dengan sadis, lima kerbau lolos dari maut. Kelimanya dilelang dengan harga kisaran Rp 12 juta sampai 17,5 juta .
Usai pembantaian massal yang disebut dengan Mantunu, puluhan orang pun beramai-ramai menguliti dan menyembelih daging kerbau menjadi potongan daging kecil-kecil. Setiap bagian diberikan pada tamu dan keluarga yang datang melayat. Hal ini diyakini bahwa harta terakhir yang meninggal haruslah dibagi-bagi untuk menjadi berkah kepada yang ditinggalkannya.
Sore itu, pembantaian telah usai, sebagian warga menguliti dan mengambil dagingnya. Beberapa orang terlihat antri berjejer untuk mencapatkan bagian. Nampak kumpulan anak-anak memungut sisa kepala, tanduk dan ekor. Tak tampak sedikitpun ekspresi takut atau ngeri melihat darah berserakan di mana-mana.
Dalam persepsi orang Toraja menurut Arni Lande, seorang Prengge Nonongan atau Ketua Adat Nonongan, Rambu Solo mengadung dua fungsi yaitu, strata sosial dan fungsi sosial. Tak sedikit orang yang mengadakan pesta adalah golongan bangsawan ataupun orang kaya. Pasalnya, untuk melaksanakan kegiatan ini butuh dana yang besar bahkan nilainya mencapai miliaran rupiah. Sedangkan fungsi sosialnya, yang mati semasa hidupnya mengumpulkan harta benda. Setelah mati, harta benda itulah yang dibagi-bagi kepada keluarga da kerabatnya. Salah satunya adalah kerbau-kerbau yang telah habis tersembelih.
Arni juga menyatakan pemilihan kerbau dalam Rambu Solo karena dalam paham leluhur, kerbau adalah penyambung nyawa ke dunia Puya. Dunia atas tempat manusia akan menuju masa kekal. Itulah sebabnya harga kerbau di Tana Toraja mencapai jutaan hingga ratusan juta per ekornya.
Langganan:
Postingan (Atom)